Minggu, 13 Februari 2011

Mahasiswa, antara tuntutan objektivitas dan Subjektivitas

Jangan heran melihat bahasa dan gaya penulisan di artikel ini yang agak berbeda, maklum ini gw buat untuk artikel buletin kampus, jadi harus disesuaikan (baca: formil). silahkan dibaca....

Sekitar bulan november 2010 kemarin, Warta HIMAHI kembali mengadakan workshop jurnalistik bekerjasama dengan Liputan 6 SCTV. Saya adalah salah satu peserta yang ikut berpartisipasi dalam acara tersebut. Dihari pertama Workshop, Pihak SCTV mengundang Raymond Kaya, salah satu lulusan HI UNPAR yang sekarang menjabat sebagai Kepala Peliputan Liputan 6 SCTV. Pada kesempatan kali itu peserta diberikan kesempatan untuk mengajukan pertanyaan kepada beliau seputar Jurnalistik, maka saya mengajukan sebuah pertanyaan yang memang sudah lama ingin saya tanyakan kepada Jurnalis sekelas Raymond Kaya ini. Pertanyaan saya adalah “Ditengah pasar pemberitaan saat ini dan maraknya tumpangan politik didalamnya, bagaimana agar seorang jurnalis atau dalam hal ini apabila saya adalah seorang Reporter SCTV, saya dapat tetap memberitakan secara objektif?”. Pak Raymond Kaya memberikan jawabannya yang cukup menjawab tapi tidak memuaskan saya. Pertanyaan mengenai isu objektifitas seorang jurnalis bukanlah hal baru menurut saya dan Pak Raymond Kaya pun mengatakan bahwa pertanyaan saya mengingatkan beliau pada Direktur SCTV yang selalu menanyakan hal yang sama setiap dilakukan rapat bersama.
Beliau menjelaskan bahwa dalam bisnis berita, memang akan sangat sulit untuk berdiri diatas kebenaran (objektif) karena kepentingan-kepentingan tertentu ikut bermain didalamnya. Inilah mengapa berita tidak terlalu populer dikalangan masyarakat, oleh karena itu objektivitas lebih banyak bermain diranah berita feature, human interest atau profil. Karena pada ranah ini objektivitas bebas bermain dan sangat kecil kemungkinan untuk bertabrakan dengan kepentingan dan tentunya lebih ringan bagi masyarakat.
Jawaban yang lebih memuaskan saya datang dari blog Pandji Pragiwaksono. Sebelum membaca tulisannya, selama ini saya selalu berpikiran bahwa seorang jurnalis adalah seorang yang mampu menempatkan Objektivitas diatas subjektivitas, sebagai reporter diradio kampus, saya terbiasa memberikan laporan pandangan mata, memberitakan apa yang saya lihat, tidak kurang dan tidak lebih. Intinya memberitakan sesuatu berarti menjauhi kebohongan publik. Tapi di blog Pandji Pragiwaksono saya menemukan hubungan antara idealisme dan objektivitas yang menjadi kekuatan seorang jurnalis yaitu terletak pada berita atau isu yang kita angkat menjadi menarik untuk disimak karena kita melihatnya dari sisi yang berbeda dan mengupasnya dengan tekhnik yang berbeda oleh karena itu subjektivitas sangat diperlukan disini. Saya jadi berfikir, saat ini sumber informasi sangat melimpah dan informasi yang sama dapat kita temukan dari berbagai macam sumber (internet, koran, TV) tapi kenapa orang memilih mendapatkan berita dari sumber tertentu ini ditentukan oleh subjektivitas sumber yang memberitakannya dan gaya penyampaiannya. Sebagai contoh, dalam sehari disemua tayangan infotaiment TV rata-rata memberitakan begita dan gosip yang pada intinya sama, tapi kenapa orang memilih menonton INSERT (contohnya) daripada tayangan yang lain? Ini karena masyarakat menyukai subjektifitas dari pembawa beritanya bukan hanya isi dari beritanya. Bahkan ketika kalian memilih untuk membaca sebuah blog dari jutaan ribu blog yang ada, menurut saya itu adalah tindakan subjektif.
Jadi menurut saya, menjadi idealis adalah bagaimana berdiri diatas subjektifitas kita sendiri tanpa ditumpangi oleh subjektivitas orang lain baik itu kepentingan, ide atau perspektif. Mahasiswa dikenali lewat idealismenya, dan itulah yang harus kita pertahankan dalam menyampaikan sesuatu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar